Pengalamanku

 

Pahlawan dalam Hidupku

Rudiansyah, S.Pd.

Secangkir teh hangat masih tersaji di atas meja tempat kami bercerita. Ada sepiring rebus jagung yang masih panas, tampak dari asap yang masih terlihat keluar.

Aku lahir dari keluarga kecil, namun bahagia Ayahku seorang buruh tani bahkan buruh harian lepas, sementara ibuku hanya mengurus rumah tangga, sambil sesekali bantu bantu aya jika musim tanam atau musim panen tiba.

Rudiansyah lahir di Kawali, hari Rabu, 2 Desember 1987. Semasa kecil aku tergolong anak yang pendiam dan pemalu, salah satu latarbelakangnya, menurut tetangga karena memang tempat tinggal ku jauh dari tetangga, rumah kecilku hanya berjarak beberapa meter dari sungan cikadongdong, dan hanya satu satu nya rumah di sana. Secara de fakto rumah ku terletak di Dusun Kiaralawang Desa Karangpawitan Rt 02/ 02.

Sejak kecil aku terbiasa hidup susah, saat anak anak seusiaku masuk TK untuk mempersiapkan pendidikan di SD, setiap pagi ku hiasi dengan bermain, di ladang atau di sawah. Satu satunya persiapan yang aku lakukan adalah masuk madrasah diniyah, kelas TKA kecil, belajar huruf hijaiyah, menghafal surat-surat pendek. Maka aku mengalami masa yang sulit saat masuk SD, aku kesulitan belajar huruf alfabeth mengenal angka, bahkan berhitung. Bu Mimi Rohanah sebagai wali kelas aku di Kelas 1 SD, dengan gigih mengajariku, memberiku porsi belajar supaya aku bisa membaca dan menulis huruf latin.

“Teu sawios-wios, aya masa na ke oge”. Ujar Ibu Mimi saat ibuku dipanggil ke sekolah karena aku tidak jua bisa membaca.

Perlu waktu tiga bulan untukku mengenal dan beradaftasi dengan huruf abjad. Sampai akhirnya aku benar-benar mahir membaca buku-buku cerita.

Tak ada prestasi istimewa secara akademik, aku hanya bisa menembus prestasi 3 besar di kelas. Kemampuan menalat tidak dikuti dengan kemampuan lainnya. Aku kadang minder jika harus tampil di depan orang banyak. Kelemahan itu ternyata sudah dicium oleh guru madrasahku. Ustad Dadang. Berbulan bulan ia mengajariku ilmu agama, tiba saat waktu PHBI, setiap santri harus tampil didepan panggung menunjukan kebisaannya masing-masing. Aku menolak, bahkan aku tak mau mengaji lagi, yang aku rasakan saat itu adalah tasa takut, rasa malu dan minder.

Akhirnya Ustad Dadang menyerah, saat itu beliau tidak bisa memaksaku untuk tampil. Saat acara imtihan di madrasah, aku diam di rumah, mengunci kamar dan duduk di pojok kamar.

Orang tuaku bahkan bertanya pada orang pintar tentang hal ikhwal apa yang menimpaku. Bapakku terutama, mengira ada hal diluar nalar yang meinpaku.

“Ieumah aya  nu ngaguna-guna jang.” Ujar orang Pintar yang dimintai tolong oleh bapak. Tapi Ibuku tidak yakin, ia mendatangi Ustad Dadang untuk melihat kondisi aku. Seuisaku, dulu aku juga heran, tentang hal ikhwal apa yang menimpaku. Aku tidak percaya diri, itu masalah terbesar yang menimpaku saat itu. Satu hari pernah aku diminta untuk tampil pada acara peringatan maulid nabi Muhammad saw, tapi aku menolak, aku mendadak tidak bisa menghafal apa yang harus tampilkan nanti, padahal sebelumnya aku sudah hafal betul.

Ustadz Dadang hanya menatap ku, memberikan motivasi dan membisikan aku beberapa kalimat yang sampai saat ini aku selalu ingat. Hanya aku tak bisa sebutkan apa yang ustad Dadang bisikan. Hampir setiap sore selepas madrasah, Ustad Dadang datang kerumah,  sekadar berkunjung atau bahkan ngobrol perkara iman dan perkara hal hal yang berhubungan dengan masa depan. Sampai pada suatu pembicaraan serius.

“Mondok, solusi masalah Rudi!” Ujar Ustad Dadang. Aku tak bisa berucap, hanya menghela nafas. Kalimat itu yang selama ini aku takutkan, aku tidak berminat mondok, cita-citaku sejak dulu ingin menjadi Guru. Tapi aku tidak bisa membantah, yang terpenting bagiku, aku bisa membangun rasa percaya diriku terlebih dahulu. Ustad Dadang memang buka psikolog, tapi beliau mampu membangun kepercayaan diriku yang sempat terpuruk.

Masuk Sekolah Dasar tahun 1994 adalah awal mula beradaftasi dengan  lingkungan sekitar, aku mulai mengenal teman sebaya dengan beragam sifat, watak dan karakter. Ada rasa canggung ada rasa minder, latar belakang keluargaku yang membuatku merasa kecil. Memang tidak ada yang bisa memilih dilahirkan dari Rahim siapa? Tetapi aku sangat bersyukur bisa terlahir dari kedua orang tua yang harmonis. Untuk masalah ini, Ustad Dadang yang selalu menguatkan. Berkali-kali aku diingatkan tentang lika-liku kehidupan, perubahan karakter, tentang hijrah, dan optimsme.

Perlahan, aku yang dahulu pendiam, kini mulai beradaptasi dengan teman sebaya, hormat pada yang lebih tua dan sayang pada yang lebih muda. Tidak ada yang menyangka, anak seorang petani yang hidup dipinggiran sungan cikadongdong, bisa mendapat predikat siswa teladan waktu itu, pernah akan ditekruk di sekolah unggulan bahkan.

Namun sebagaimana apa yang disampaikan ustad Dadang, bahwa roda itu akan berputar. Ustad Dadang punya jalan lain, beliau memilih jalannya sendiri, setelah beberapa tahun mengajar di MD Al Ikhlas, akhirnya ia memutuskan untuk merantau, hal ini sangat memukulku. Aku tak bisa berkata-kata saat sore perpisahan itu. Tiada kata penolakan, hanya permohonan doa supaya aku bisa melalui masa masa itu tanpa Ustad Dadang. Satu kalimat yang tidak akan terlupakan sampai saat ini. “Kemanapun kamu pergi, pulangnya pasti ke pesantren”

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SPP La Tansa

Warisanku