Warisanku

 

Warsisan Ayah untuk Aku

Rudiansyah, S.Pd.

Senja tampak sumarah, dengan bentangan mega yang megah, mentari mengintip dari sela dedaunan yang tampak segar. Rumah ukuran 6x10 dengan ornament kayu tampak begitu klasik. Aku ambil cuti, 2 minggu untuk sekadar menenangkan diri, setelah menjalani hiruk pikuk yang rumit.

Sebagai lulusan Universitas satu-satunya di Ciamis, sebenarnya banyak opsi aku harus bekerja dimana, bersama siapa dan untuk apa? Tapi hal itu bertentangan dengan nurani, yang telah aku pelihara sejak aku belajar mengaji di madrasah, dulu. Hingga akhirnya aku tersesat di sebuah yayasan terbesar di Kabupaten Lebak, Yayasan La Tansa Mashiro.

Berhasilnya aku mengenyam pendidikan Strata 1, tidak terlepas dari peran penting dua orang yang selalu memberikan aku motivasi, memberikan biaya yang tidak sedikit. Apalagi untuk ukuran keluarga kecil yang hanya bekerja sebagai buruh harian lepas.

Kadang rasa sombong hadir disetiap kesempatan acara reuni, atau pertemuan kecil antara geng waktu sekolah di Sekolah Dasar. Hanya 27 orang terdiri dari 21 orang siswa laki-laki dan 6 perempuan. Aku salahsatu yang bisa sekolah sampai jenjang S1. Meski dengan susah payah karena masalah biaya, lagi-lagi dua sosok paling berjasa adanya ayah dan ibuku. Saat yang lain sudah bisa mencari uang sendiri, hanya aku yang masih minta sama orang tua. Lulus Sekolah Dasar tahun 1999, aku melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 3 Kawali, disitu mulai bergururan, Robi, Dede Dani, Alan dan Ena, tidak melanjutkan sekolah. Lulus SMP Tahun 2003 aku melanjutkan ke SMA Favorit, SMA Negeri 1 Kawali, disini justru hampir semua bergururan, tercatat hanyu Aku, Sansan, Lani, Endang, dan Agus Rahmatullah yang melanjutkan ke SMA. Sampai, saat tahun ajaran baru 2009, hanya aku dan temanku Agus Rahmatullah  yang berani melanjutkan sekolah ke pendidikan tinggi, aku di Universitas Galuh Ciamis, sementara Agus Rahmatullah di Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.

Tekad kuat yang ada dalam diri mengantarkan aku ke gerbang perkuliahan. Bukan karena banyak uang, atau karena dapat beasiswa dari pemerintah. Keinginan itu muncul karena aku ingin mengubah keadaan, bukan tidak mau hidup susah, tapi karena memang keinginan yang kuat untuk hijrah. Ayahku seorang buruh harian lepas, ibuku juga sama. Biaya kuliah yang kata orang cukup besar, tapi bagi mereka itu adalah kebutuhan utama.Orang tuaku tidak pernah mengeluh dengan mahalnya biaya kuliah, bahkan tidak sejengkal tanahpun keluar untuk membiayaiku kuliah. Bukan karena apa-apa, karena memang tidak ada tanah untuk dijual selain tempat yang kami diami. Aku bahkan sempat untuk berhenti kuliah. Suatu ketika, ayah tiba-tiba sakit kram usus, waktu itu uang sudah disiapkan untuk biaya semester. Tapi ayah mendadak sakit, akhirnya uang untuk kuliah, kami bayarkan biaya rumah sakit, prioritas pertama adalah ayahku sembuh. Keajaiban datang saat itu, Pak Asep sebagai pemilik penggergajian tempat ayahku berkerja tiba-tiba memberikan sejumlah uang yang cukup untuk biaya semester, bahkan ada lebihnya. Ia berkata, uang itu adalah uang untuk biaya operasional, tapi boleh digunakan dahulu untuk biaya lain.

Kegigihan orang tuaku membiayai sekolahku, tidak disia-siakan, aku tidak tergolong siswa berprestasi, tapi setidaknya aku mampu memanfaatkan situasi, beragam mahasiswa yang kuliah di Universitas Galuh, ada yang hanya formalitas, ada yang kebutuhan naik gaji, bahkan ada juga yang hanya iseng, maka aku masuk ke dalam dunia mereka, aku sering kali lembur untuk sekadar mengerjakan tugas mahasiswa-mahasiswa yang aku sebutkan tadi. Memang upahnya tidak besar, tapi cukup untuk biaya sehari-hari. Aku paling pantang untuk meminta kepada orang tua, kecuali mereka kasih, baru aku terima. Tidak setiap hari aku diberi jatah uang jajan, bahkan kadang  pas jadwal kuliah siang, aku belum punya uang untuk ongkos, tapi rezeki sudah ada yang mengatur, selalu saja ada jalan. Aku paling percaya dengan kalimat itu “rezeki sudah ada yang mengatur”.

Perjalanan manusia memang jarang yang lurus. Kejahatan fitnah, gossip dan gunjingan pernah aku rasakan. Banyak yang iri, karena aku bisa sekolah sampai S1, meski ada juga beberapa yang kagum. Aku selalu kembalikan pada orang tuaku, tanpa mereka aku tidak akan bisa sekolah sampai S1.

Perjalanan sampai aku bisa kuliah, bukan perjalanan lurus tanpa hambatan. Hal yang paling diingat adalah saat aku masuk SMA, karena masuk SMA favorit, maka otomatis biaya dan segala administrasi juga harus tepat waktu. Aku dinyatakan lulus tes dan diterima di SMA Negeri 1 Kawali. Hari itu harus daftar ulang dan membawa uang Rp150.000. aku dan ibu, memaksakan pergi dengan mebawa uang Rp50.000, ketika sampai di ruang daftar ulang, kami ditolak dan harus membawa uang Rp150.000, ibu sempat menangis, dan meminta keringanan, namun waktu yang diberikan hanya sampai jam 15.00 sore itu. Kami pulang, ibu langsung menghubungi ayah, lalu menceritakan hal yang dialaminya tadi pagi di sekolah. Ayah hanya mengerutkan dahi, ia menghela nafas panjang, lalu berkata, “Kita pinjam ketetangga.” Kata ayah. Karna ayah sedang bekerja maka ibuku yang mencari pinjaman. Sang malaikat tanpa sayap itu tanpa lelah mencari kepada siapa ia harus meminjam uang, aku hanya mengekor di belakang. Singkat cerita bertemulah ibu dengan Bibi Emi, harapan terakhirku untuk sekolah di SMA ada di tangan beliau, setelah diceritakan panjang lebar, akhirnya Bibi Emi mengeluarkan uang yang diminta, bahkan dilebihkan 20 ribu untuk ongkos kesana kemari. Rasa dalam dada bercampur padu menjadi satu. Bahagia, sedih dan gembira menjadi semacam nano nano dalam jiwa.

Jam 14.00 kami kembali ke sekolah, dan menyerahkan uang yang diminta. Akhirnya sah, aku menjadi siswa SMA Negeri 1 Kawali. Perjuangan ibuku, luar biasa. Aku sempat heran, ayahku bukan seorang yang berada, tapi ia begitu gigih mengabulkan permintaanku yang memang kurang logis untuk ukuran keluargaku. Sejak masuk SD sampai SMA waktu itu belum ada dana BOS, jadi aku harus bayar iuran tiap bulannya, jika dihitung-hitung sejak SD sampai SMA pun sudah berapa ratus juta untuk biaya sekolahku saja. Tapi belum pernah ayahku mengeluh, berceritra tentang kekurangan biaya hidup, atau penderitaan yang dia alami saat menyekolahkan aku, padahal aku tahu kalau itu sangat menguras tenga dan fikirannya. Setiap kali ditanya oleh tetangga tentang kesulitan menyekolahkan, ia selalu menjawab tidak ada kesulitan, biaya sekolah itu murah, terjangkau, kata beliau disela-sela oboralan.

Tak heran jika sebagian tetangga ada yang iri, karena seorang buruh harian saja bisa menyekolahkan anaknya, masa sebagai pegawai, pedagang, tidak bisa. Tak jarang bapak dijadikan tolak ukur keberhasilan dalam bekerja dan mendidik anak, katanya bapak paling berhasil, ukurannya adalah aku bisa sekolah sampai S1.

Kini aku bekerja di sebuah yayasan besar di Kabupaten Lebak “Yayasan La Tansa Mashiro” sebagai lulusan sarjana Pendikan Bahasa Indonesia, aku mengajar Bahasa Indonesia SMA dan SMK. Meski terpisah jarak dan waktu, aku begitu menikmatinya. Hanya saja aku belum bisa membahagiankan kedua orang tuaku, aku belum bisa mencukupi semua kebutuhan mereka. Padahal dulu, semua kebutuhanku mereka cukupi, tanpa melihat situasi, resiko terburuk sekalipun diambil. Tetapi sesulit apapun hidup pada waktu itu, kami semua bisa makan dengan lauk yang cukup. Tidak pernah kami kelaparan karena tidak ada beras. Selalu saja ada rizki yang menghampiri kami.

Ayahku telah memberikan warisan tak ternilai dalam hidup, bukan tanah yang luas berhektar-hektar, bukan pula uang yang berkoper-koper, tapi ilmu yang bermanfaat, warisan yang tak terputus sampai saat ini.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SPP La Tansa

Pengalamanku